Oleh : Ayopri Al Jufri*
Telah menjadi pemahaman umum dalam sebuah perjanjian atau surat pernyataan atau surat kesepakatan ditempel materai, baik tiga ribu, enam ribu, dan sekarang yang berlaku sepuluh ribu. Pemahaman umum materai dianggap sebuah tanda sahnya sebuah surat perjanjian atau kesepatakan, sebetulnya apa sih fungsinya dari menempel materai dalam surat-surat tersebut?, apakah sebuah perjanjian tidak sah jika tidak ditempel materai?Berikut saya paparkan.
Meterai atau lebih sering disebut materai, bisa jadi salah satu produk hukum perpajakan yang sangat familiar di kehidupan kita. Materai ini seringkali digunakan dalam penandatanganan surat perjanjian dan surat-surat berharga lainnya.
Tujuan penempelan materai yakni memberikan nilai hukum pada sebuah dokumen yang telah dibuat. Untuk surat yang ditandatangi, materai yang digunakan biasanya adalah materai 6000.
Lalu apa sebenarnya fungsi materai 6000 (apa itu materai 6000)?
Dikutip dari laman resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, bea meterai adalah pajak atas dokumen yang terutang sejak saat dokumen tersebut ditandatangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan, atau diserahkan kepada pihak lain jika dokumen itu hanya dibuat oleh satu pihak.
Dalam arti lain, bea materai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang bersifat perdata dan dokumen untuk digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Penggunaan dan fungsi materai diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai, bea materai adalah pajak dokumen yang dibebankan oleh negara untuk dokumen tertentu.
Sebenarnya, tak semua dokumen berharga harus dibubuhi materai. Dengan kata lain, dokumen tanpa materai bukan berarti dokumen tersebut dianggap tidak sah. Namun, dokumen tanpa materai tersebut tak bisa dijadikan alat bukti di pengadilan.
Status dokumen tak bermaterai
Dalam kasus ketika surat atau dokumen tidak dibubuhi materai namun akan dijadikan bukti ke pengadilan, maka pelunasan bea materai dilakukan dengan Pemeteraian Kemudian.
"Pemeteraian kemudian dilakukan atas dokumen yang semula tidak terutang Bea Meterai namun akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan. Pemeteraian kemudian juga dilakukan atas dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia," bunyi Pasal 1 huruf c Kepmenkeu 476/2002.
Pemeteraian kemudian wajib dilakukan oleh pemegang dokumen dengan menggunakan Meterai Tempel atau Surat Setoran Pajak dan kemudian disahkan oleh Pejabat Pos.
Artinya, pembuktian surat yang tidak dibubuhi materai, memiliki kekuatan hukum yang sama dengan surat bermaterai. Namun agar bisa dijadikan alat bukti di pengadilan, surat tersebut haruslah melunasi pajak bea materai yang terutang.
Berdasarkan PP No 24 tahun 2000, berikut surat yang memerlukan materai 6000 adalah:
1. Surat Perjanjian dan surat-surat lainnya (surat kuasa, surat hibah, dan surat pernyataan) yang dibuat untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata
2. Akta Notaris termasuk salinannya
3. Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap-rangkapnya
4. Surat yang memuat jumlah uang (penerimaan uang, pembukuan, pemberitahuan saldo rekening di Bank, pemberitahuan pelunasan utang) dengan nominal lebih dari Rp. 1000.000,00
5. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan
5. Cek, Bilyet, Giro
6. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 1.000.000
7.Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 1.000.000
Saat ini, pelunasan bea materai dapat dilakukan melalui aplikasi e-Meterai yang diatur dengan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-66/PJ/2010 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelunasan Bea Meterai Dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital.
Penggunaan materai digital bisa dilakukan jika wajib pajak mengajukan permohonan izin kepada Kantor Pelayanan Pajak untuk menggunakan mesin teraan.
Dalam banyak kasus, seringkali perusahaan besar membutuhkan banyak dokumen bermaterai. Sehingga materai digital cukup membantu operasional perusahaan.
Namun perlu ditegaskan sejak tahun 2021 penggunaan materai telah ditentukan bernilai 10.000 dengan dasar ketentuan berikut :
Sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai, poin b dan c menjelaskan bagaimana penggunaan materai saat ini yang minimal digunakan Rp9.000.
b. Materai tempel yang telah dicetak berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai dan peraturan pelaksanaannya yang masih tersisa, masih dapat digunakan sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang ini mulai berlaku dan tidak dapat ditukarkan dengan uang atau dalam bentuk apa pun.
c. Materai tempel yang digunakan untuk melakukan pembayaran Bea Materai yang terutang atas Dokumen sebagaimana dimaksusd dalam huruf b, dapat digunakan dengan nilai total Materai tempel yang dibubuhkan pada Dokumen paling sedikit Rp9.000,00 (sembilan ribu rupiah).
Sedangkan rincian dokumen yang terkena bea meterai Rp. 10.000 Merujuk pada UU Nomor 10 Tahun 2020, bea materai Rp 10.000 dikenakan atas beberapa dokumen yang meliputi:
1. Surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya;
2. Akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya;
3. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya;
4. Surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apapun;
5. Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
6. Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang;
7. Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang (1) menyebutkan penerimaan uang; atau (2) berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan;
8. Dokumen lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Setelah memahami fungsi dari materai, maka kita harus tahu secara hukum tentang syarat sahnya sebuah perjanjian, berikut saya paparkan :
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai syarat sah perjanjian, ada baiknya untuk kamu mengerti dulu apa sih arti dari sebuah perjanjian? Apa ada dasar hukum di Indonesia yang membahas tentang perjanjian?
Pengertian perjanjian
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), perjanjian adalah perbuatan yang melibatkan satu orang atau lebih yang mengikat diri mereka dengan orang lain atau lebih. Dalam perjanjian tersebut termuat hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Karena sifatnya yang mengikat, maka perjanjian bisa juga disamakan dengan Undang-Undang, bedanya hanya lingkupnya saja.
Kalau undang-undang harus ditaati semua warga negara, perjanjian ditaati pihak yang bersepakat.
Selain untuk pengikat hak dan kewajiban masing-masing pihak, perjanjian juga memiliki fungsi sebagai alat bukti yang sah untuk menyelesaikan sengketa.
Tak bisa dipungkiri bahwa setiap hubungan bisa saja mengalami perselisihan atau konflik. Nah, perjanjian bisa dijadikan sebagai alat untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.
Dasar hukum perjanjian
Dasar hukum di Indonesia telah memuat banyak hal tentang perjanjian, termasuk syarat sah perjanjian. Pengertian perjanjian itu sendiri telah tercantum dalam Pasal 1313 KUHPerdata.
Pasal tersebut menyebut “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Sementara untuk syarat sah perjanjian dicantumkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Berdasarkan pasal tersebut, kesepakatan harus memenuhi empat syarat agar bisa sah menjadi perjanjian, di antaranya:
1. syarat kesepakatan,
2. kecakapan,
3. objek,
4. halal.
Ini 4 syarat sah perjanjian yang wajib dipenuhi
Dalam praktiknya, perjanjian memiliki sejumlah syarat supaya dianggap sah secara hukum. Syarat sah perjanjian itu diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1320. Syarat-syarat sah tersebut, antara lain:
1. Kesepatakan mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu pokok persoalan tertentu.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif karena berkaitan dengan para subjek yang membuat perjanjian.
Sementara itu, syarat kedua dan ketiga disebut syarat objektif karena berkaitan dengan objek dalam perjanjian.
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
“Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya” berarti para pihak yang membuat perjanjian harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok atau materi yang diperjanjikan.
Kesepakatan itu harus dicapai dengan tanpa ada paksaan, penipuan, atau kekhilafan. Adanya unsur pengikat inilah yang kemudian menjadi syarat sah perjanjian.
Sebagai contoh, sebuah perusahaan ingin menyewa sejumlah kendaraan bermotor dari perusahaan penyedia kendaraan bermotor. Nah, kedua belah pihak sepakat dalam hal penyewaan kendaraan bermotor dalam kurun waktu satu tahun untuk keperluan tertentu.
Perjanjian tersebut mengatur terkait harga, cara pembayaran, sanksi, penyelesaian sengketa, dan sebagainya. Biasanya, di dalam kesepakatan bersangkutan turut menyatakan bahwa kedua pihak menyepakati tanpa adanya unsur penipuan, paksaan, atau kekhilafan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pasal 1330 KUHPerdata telah mengatur pihak-pihak mana saja yang boleh atau dianggap cakap untuk membuat perjanjian. Di samping itu, ada orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat perjanjian, antara lain:
Orang yang belum dewasa.
Orang yang ditempatkan di bawah kondisi khusus (seperti cacat, gila, dinyatakan pailit oleh pengadilan, dan sebagainya).
3. Suatu pokok persoalan tertentu
“Suatu pokok persoalan tertentu” berarti apa yang diperjanjikan (objek perikatannya) harus jelas. Dengan kata lain, jenis barang atau jasa itu harus ada dan nyata.
Sebagai contoh, perjanjian menyewa rumah toko (ruko) dua lantai dengan luas bangunan 750 m2 yang terletak di Jalan Kebahagiaan Nomor 69, Jakarta Pusat. Ruko adalah barang yang jelas dan nyata.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang
“Suatu sebab yang tidak terlarang” atau juga sering disebut sebagai suatu sebab yang halal berarti tidak boleh memperjanjikan sesuatu yang dilarang undang-undang atau yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai kesopanan, ataupun ketertiban umum.
Sebagai contoh, pihak terkait melakukan perjanjian jual beli ganja yang mana barang tersebut dinyatakan terlarang secara hukum di Indonesia. Perjanjian semacam ini adalah dianggap tidak sah.
Syarat sah perjanjian kerja
Dalam dunia kerja, perusahaan dan pegawai telah menyepakati perjanjian kerja sebelumnya. Jika kita mengacu pada syarat sah perjanjian sesuai KUHPerdata, perjanjian kerja agar sah juga harus memenuhi empat syarat.
Syarat pertama yang harus dipenuhi adanya kesepakatan di antara kedua pihak, yaitu pemberi kerja dan penerima kerja. Pemberi kerja sepakat membayar upah penerima kerja. Sebaliknya, penerima kerja juga sepakat memberikan tenaganya untuk pemberi kerja.
Syarat kedua, usia pekerja telah memasuki usia yang mampu dan cakap melakukan perbuatan hukum.
Syarat ketiga adanya pekerjaan yang dijanjikan pemberi kerja ke penerima kerja beserta dengan status pengangkatan karyawan.
Syarat sah perjanjian kerja yang terakhir, pekerjaan yang diberikan tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Syarat sah perjanjian polis asuransi
Dalam asuransi juga ada syarat sah perjanjian, khususnya menyangkut polis asuransi antara pemegang polis dan perusahaan asuransi.
Polis asuransi sendiri memiliki pengertian perjanjian asuransi yang dipersamakan dengan akta perjanjian asuransi.
Perjanjian asuransi itu dibuat secara tertulis dan memuat berbagai perjanjian antara pihak pemegang polis dan perusahaan asuransi.
Polis asuransi harus mencantumkan poin-poin penting sebagai bentuk syarat sah, di antaranya:
1. Tenggang waktu polis
2. Masa berlakunya pertanggungan
3. Tata cara pembayaran premi
4. Besaran harga premi yang dibayarkan
5. Kurs yang digunakan untuk polis asuransi
6. Kebijakan perusahaan asuransi terkait keterlambatan pembayaran premi yang telah disepakati dengan pemegang polis.
7. Manfaat pertanggungan yang bakal didapatkan pemegang polis
8. Tata cara perpanjangan kontrak masa pertanggungan
9. Pengecualian-pengecualian pertanggungan
10. Klausul penghentian pertanggungan
11. Syarat dan tata cara pengajuan klaim, beserta detil bukti-bukti yang diperlukan
12. Klausul penyelesaian sengketa apabila terjadi konflik antara pemegang polis dan perusahaan asuransi
Semua itu harus tercantum di dalam kesepakatan polis. Pasalnya, asuransi adalah hal yang sangat penting untuk mempersiapkan diri kamu di masa yang akan datang sehingga pastikan kamu memiliki asuransi yang telah sesuai ketentuan.
A lima asas perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas kepastian hukum, asas itikad baik, dan asas kepribadian.
1. Asas kebebasan berkontrak
Setiap orang, memiliki kebebasan dalam berkontrak, selama kebebasan tersebut tidak melanggar syarat sah perjanjian dan tidak melanggar hukum.
Kebebasan yang dijunjung di antaranya, kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan melakukan perjanjian dengan siapa saja.
Kemudian kebebasan menentukan isi perjanjian itu sendiri meliputi pelaksanaan dan persyaratannya, hingga kebebasan menentukan bentuk dari perjanjian, bisa tertulis maupun lisan.
2. Asas konsensualisme
Perjanjian memiliki asas konsensualisme atau konsensus, yang artinya sepakat. Artinya, sebuah perjanjian harus dilandaskan pada kesepakatan antara dua belah pihak atau lebih yang mengikat janji.
Bahkan, jika kedua belah pihak telah mencapai kata sepakat, maka perjanjian tersebut sudah berlaku tanpa perlu suatu formalitas. Kecuali sebuah perjanjian yang membutuhkan syarat formalitas sesuai Undang-Undang, contoh jual beli rumah yang membutuhkan legalitas notaris.
3. Asas kepastian hukum
Di dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, dituliskan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Artinya, kedua belah pihak atau lebih yang telah membuat perjanjian, wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian tersebut layaknya mematuhi Undang-Undang yang berlaku di negara. Jika salah satu mengingkari janji maka perjanjian tersebut bisa diusut ke pengadilan.
Bagi yang melanggar bisa dan sangat dimungkinkan untuk mendapatkan sanksi sesuai dengan keputusan hakim.
4. Asas itikad baik
Perjanjian harus dibuat berdasarkan asas itikad baik. Artinya, kedua belah pihak harus saling percaya, saling jujur, dan saling terbuka dalam membuat kesepakatan. Jangan sampai perjanjian tersebut dibuat dengan maksud buruk seperti menipu atau memanipulasi fakta.
5. Asas kepribadian
Suatu perjanjian harus bersifat personal, artinya kesepakatan tersebut harus mengikat pihak-pihak yang membuat perjanjian secara langsung, tidak boleh diwakilkan dan menyeret orang lain yang tidak sepakat.
Kondisi-kondisi yang membatalkan keabsahan perjanjian
Apabila perjanjian telah memenuhi empat syarat sah perjanjian yang telah disebutkan sebelumnya, maka perjanjian telah dinyatakan sah.
Kendati demikian, perjanjian bisa batal demi penegakan hukum apabila tidak memenuhi beberapa syarat sebagai berikut.
1. Voidable
Jika syarat pertama dan kedua atau salah satunya tidak terpenuhi, maka salah satu pihak dapat meminta pembatalan atas perjanjian yang berlangsung melalui putusan pengadilan. Selama belum dibatalkan oleh hakim, maka perjanjian itu masih tetap dianggap sah dan mengikat kedua belah pihak.
2. Null dan void
Jika syarat ketiga dan keempat atau salah satunya tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Yang berarti perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.
Akibat hukum jika syarat sahnya perjanjian tidak terpenuhi
Setelah mengetahui informasi mengenai empat syarat sah perjanjian, lantas kamu berpikir bagaimana jika salah satu persyaratan tersebut tidak terpenuhi? Apakah ada sanksi hukumnya?
Sebuah perjanjian telah diatur dan dicatat dalam KUHPerdata. Artinya, perjanjian bisa dibawa ke ranah pengadilan bila salah satu pihak ada yang mengingkari.
Apabila satu di antara empat syarat sah perjanjian yang telah disebutkan sebelumnya tidak terpenuhi, maka perjanjian bisa dibatalkan.
Jika yang tidak terpenuhi adalah syarat nomor 1 dan 2, yaitu sepakat dan kecakapan, maka proses pembatalannya harus dilakukan melalui pengadilan.
Sementara bila yang tidak terpenuhi nomor 3 dan 4, perjanjian dianggap batal dan tidak pernah ada.
Bila salah satu pihak mengingkari perjanjian dan syarat sah perjanjian, pihak satunya bisa menuntut ke pengadilan dan pihak yang mengingkari berpotensi menerima sanksi denda, atau sanksi yang telah disepakati keduanya.
*Penulis Alumni STAIN Jember (UIN KHAS Jember), Aktif di Lembaga Bantuan Hukum Adhikara Pancasila Indonesia (LBH API), dan Tim Hukum Media Berita Nasional Zona Post Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar