Kita masih ingat kasus perseteruan dan pertengkaran Dewi Persik (Depe) dan Mendiang Julia Presz (Jupe) yang terjadi sekitar tahun 2011 silam, dimana dalam perseteruan tersebut hingga masuk dalam persidangan, namun dalam hal ini kita tidak mau masuk pada pembahasan Gosip atau permasalahan kedua artis tanah air tersebut, yang menarik dari kasus dalam kasus tersebut adalah, ketika jaksa menolak Saksi Ahli yang diajukan Julia perez, pihak Julia Perez mengajukan Barry Prima seorang aktor pemain Film laga tahun 80-90an, Barry Prima dalam kancah perfilman laga cukup populer tahun-tahun itu, namun posisinya ketika dihadirkan dalam sidang sebagai saksi ahli ditolak oleh jaksa dikarenakan seorang Barry Prima dianggap tidak memiliki pendidikan formal yang disebut sebagai ahli dalam bidangnya.
Bagi pihak Jupe, Barry Prima adalah orang yang sudah berpengalaman di bidangnya, mengingat aktor laga tersebut sudah 30 tahun berkecimpung dalam dunia film keras itu. Sering mendapat cidera, Barry Prima dianggap ahli dan berpengalaman.
Berkaca pada kasus diatas, maka kita patut banyak tahu tentang saksi ahli, maka dari itu, agar tulisan ini sistematis dan memudahkan pemahaman pembaca secara umum, saya susun dalam bentuk rumusan masalah, seperti berikut :
1. Apa dasar hukum saksi ahli dalam persidangan?
2. Apakah fungsi saksi ahli dalam persidangan?
3. Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi dari saksi ahli?
4. Adakah hak dan kewajiban saksi ahli dalam persidangan?
Jawaban dari rumusan masalah diatas seperti berikut :
1. Dasar hukum saksi ahli dalam persidangan.
Penggunaan kata saksi ahli sudah menjadi kebiasaan di dalam praktik peradilan. Perlu diketahui bahwa penyebutan saksi ahli akan lebih tepat penyebutannya hanya ahli tanpa menggunakan kata “saksi”. Hal ini dikarenakan berdasarkan Pasal 154 Herziene Inlandsch Reglement (HIR) maupun Pasal 215-229 Reglement of de Rechtsvordering (Rv) tidak menyebutkan saksi ahli di dalam pengaturannya melainkan hanya kata ahli. Selain itu, penyebutan saksi ahli dianggap rancu karena tidak terdapat satu pasal pun yang menyebutkan saksi ahli di dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), salah satunya dalam Pasal 132 Ayat (1) yang menyebutkan “Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari orang ahli.
Keterangan ahli yang dimaksud adalah dari seorang saksi ahli yang dianggap menguasai suatu bidang objek yang diperkarakan perkara dalam sidang.
Saksi Ahli adalah Saksi yang menguasai keahlian tertentu menurut pasal 56 KUHAP. Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya. Definisi Saksi Ahli/Keterangan ahli menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP : Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dalam perkara pidana, keterangan ahli diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam pengadilan pidana salah satunya adalah keterangan ahli. Lebih lanjut Pasal 186 KUHAP yang mengatakan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
2. Fungsi saksi ahli dalam persidangan.
Pada dasarnya bila dilihat dari kebutuhan persidangan, kesaksian merupakan salah satu alat bukti yang mengarah kepada apa yang dilihat, dirasakan dan dialami atas suatu peristiwa pidana. Sedangkan fungsi Saksi Ahli dalam persidangan ialah suatu bentuk kesaksian yang memberikan pendapat atas sesuatu hal menurut keahliannya.
Itulah sebabnya mengapa kepada saksi tidak boleh ditanyakan pendapatnya atas suatu peristiwa perkara tersebut, melainkan hanya boleh memberikan kesaksian sesuai yang dilihat atau diketahui menurut keahliannya.
Maka itu, menurut keperluannya keberadaan seorang saksi ahli dalam pemeriksaan suatu proses perkara pidana, adakalanya diperlukan atau tidak diperlukan. Tergantung dari bentuk dan jenis suatu tindak pidana.
Dengan demikian, pada akhirnya seorang ahli di dalam memberikan keterangan didepan persidangan, selalu berpedoman pada bidang keahliannya. Sehingga ketika ada pertanyaan yang diluar kompetensi keahliannya, seorang ahli dapat dengan tegas menyatakan tidak dapat menjawab karena diluar keahliannya.
3. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dari saksi ahli.
Dalam kitab hukum Indonesia, salah satunya KUHAP tidak mengatur khusus mengenai apa syarat didengarkannya keterangan ahli dalam pemeriksaan di pengadilan. Adapun yang disebut dalam KUHAP adalah “selama ia (yang menjadi saksi ahli) memiliki ‘keahlian khusus’ tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana dan diajukan oleh pihak-pihak tertentu, maka keterangannya bisa didengar untuk kepentingan pemeriksaan”. Keahlian Khusus tersebut dapat diperoleh seseorang baik melalui pendidikan formal maupun non-formal, dan bisa juga melalui sertifikasi dalam bidang terkait keahlian serta pengalaman-pengalaman yang dimiliki.
Menurut Debra Shinder (2010), yang mengungkapkan beberapa faktor dan kriteria yang dapat digunakan sebagai syarat menjadi saksi ahli, antara lain adalah :
1. Gelar pendidikan tinggi atau pelatihan lanjutan di bidang tertentu;
2. Mempunyai spesialisasi tertentu;
3. Pengakuan sebagai guru, dosen, atau pelatih dibidang tertentu;
4. Lisensi Profesional, jika masih berlaku;
5. Ikut sebagai keanggotaan dalam suatu organisasi profesi; posisi kepemimpinan dalam organisasi tersebut lebih bagus;
6. Publikasi artikel, buku, atau publikasi lainnya, dan bisa juga sebagai reviewer. Ini akan menjadi salah satu pendukung bahwa saksi ahli mempunyai pengalaman jangka panjang;
7. Sertifikasi teknis;
8. Penghargaan atau pengakuan dari industri.
Kriteria saksi ahli menurut Yahya Harahap,
Apabila dilihat dari segi hukum, maka seseorang dapat dikatakan sebagai ahli bila memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Seseorang yang memiliki pengetahuan khusus di dalam bidang ilmu pengetahuan tertentu sehingga orang tersebut memiliki kompeten di bidang ilmu pengetahuan tersebut;
2. Seseorang dikatakan memiliki keahlian dalam suatu bidang ilmu tertentu bisa dalam bentuk keterampilan karena hasil latihan dan pengalaman; dan
3. Keterangan dan penjelasan yang diberikan oleh seorang ahli dapat membantu menemukan fakta melebihi kemampuan pengetahuan umum orang biasa yang tentunya disesuaikan dengan spesialisasi pengetahuan, kecakapan, latihan, serta pengaman.
Pada intinya seorang dianggap saksi ahli diperlukan syarat formal untuk membuktikan bahwa dia adalah memang memiliki keahlian tertentu.
Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Pengertian tersebut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana diperluas menjadi termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
Pada dasarnya menolak panggilan sebagai saksi dikategorikan sebagai tindak pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("KUHP"). Adapun ancaman hukuman bagi orang yang menolak panggilan sebagai saksi diatur di dalam Pasal 224 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:
1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, mengatakan bahwa supaya dapat dihukum berdasarkan Pasal 224 KUHP, orang tersebut harus:
1. Dipanggil menurut undang-undang (oleh hakim) untuk menjadi saksi, ahli atau juru bahasa baik dalam perkara pidana, maupun dalam perkara perdata;
2. Dengan sengaja tidak mau memenuhi (menolak) suatu kewajiban yang menurut undang-undang harus ia penuhi, misalnya kewajiban untuk datang pada sidang dan memberikan kesaksian, keterangan keahlian, menterjemahkan.
Perlu diingat, R. Soesilo juga menjelaskan bahwa orang itu harus benar-benar dengan sengaja menolak memenuhi kewajibannya tersebut, jika ia hanya lupa atau segan untuk datang saja, maka ia dikenakan Pasal 522 KUHP.
Mengenai hak dan kewajiban saksi, sebagaimana diuraikan di atas, maka jelas bahwa seseorang yang dipanggil sebagai saksi dalam suatu perkara pidana berkewajiban untuk hadir. Hal ini juga dapat dilihat dalam Pasal 112 ayat (1) KUHAP.
Selain itu saksi juga mempunyai kewajiban sebagai berikut:
1. Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya (Pasal 160 ayat (3) KUHAP);
2. Saksi wajib untuk tetap hadir di sidang setelah memberikan keterangannya (Pasal 167 KUHAP);
3. Para saksi dilarang untuk bercakap-cakap (Pasal 167 ayat (3) KUHAP).
Sedangkan hak dari saksi antara lain:
1. Dipanggil sebagai saksi oleh penyidik dengan surat panggilan yang sah serta berhak diberitahukan alasan pemanggilan tersebut (Pasal 112 ayat (1) KUHAP);
2. Berhak untuk dilakukan pemeriksaan di tempat kediamannya jika memang saksi dapat memberikan alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik (Pasal 113 KUHAP);
3. Berhak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan dari siapapun atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 ayat (1) KUHAP);
4. Saksi berhak menolak menandatangani berita acara yang memuat keterangannya dengan memberikan alasan yang kuat (Pasal 118 KUHAP);
5. Berhak untuk tidak diajukan pertanyaan yang menjerat kepada saksi (Pasal 166 KUHAP);
6. Berhak atas juru bahasa jika saksi tidak paham bahasa Indonesia (Pasal 177 ayat (1) KUHAP);
7. Berhak atas seorang penerjemah jika saksi tersebut bisu dan/atau tuli serta tidak dapat menulis (Pasal 178 ayat (1) KUHAP).
Referensi dan Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
3. M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan , Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, cetakan kelima belas, Jakarta, Sinar Grafika, 2015.
4. Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44)
5. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
6. Kapanlagi.com, Saksi Ahli Kasus Jupe, Barry Prima ditolak jaksa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar